Mengenal Toxic Positivity, Dampak Buruk,Tanda dan Cara Berdamainya
Pernahkah kamu menemukan postingan yang berbunyi seperti ini: “Having a positive attitude”, “Good vibes only”, atau “Be happy”. Benar, kata-kata tersebut memang memiliki arti yang baik atau positif. Mempunyai pemikiran positif dan sikap positif tidaklah salah. Tidak perlu disangkal, berpikir positif memang terkadang menjadi salah satu sumber kekuatan di beberapa situasi. Jika kamu bisa mencernanya dengan baik, maka pikiran positif ini juga dapat menjadi pegangan kuat untuk bertahan hidup.
Memberi tindakan positif atau berpikir positif tidak “Selalu” menjadi alternatif terbaik untuk membantu orang lain. Kamu juga tidak harus menebarkan debu positif yang pada akhirnya membuat masalah mereka hilang. Saat seseorang mencari bantuan, biasanya mereka tidak mencari poster positif yang inspirasional. Karena lebih sering, mereka mencari validasi bahwa perasaan negatif mereka baik-baik saja.
Tindakan positif yang berlebihan seperti itu lebih dikenal dengan sebutan Toxic Positivity.
Penjelasan toxic positivity menurut beberapa ahli:
– Dr. Jaime Zuckerman–Psikologi Klinis di Pennsylvania mengungkapkan–toxic positivity ialah asumsi baik dari diri sendiri atau orang lain, bahwa walaupun seseorang sedang mengalami emosi atau keadaan sulit, mereka seharusnya tetap memiliki pemikiran positif.
– Jennifer Murayama–Psikologis, menjelaskan bahwa toxic positivity lebih dari hanya bersikap positif serta optimis dalam menghadapi perjuangan atau tantangan. Lebih lanjut ia menjelaskan–bahwa toxic positivity merupakan tindakan, menolak, meminimalkan dan menutup rasa percaya pada diri sendiri maupun orang lain.
– Myisha Jakson–seorang Konselor mengungkapkan bahwa toxic positivity merupakan tindakan mengajar orang lain untuk membungkam setiap hal dan pengalaman yang dianggap negatif atau buruk.
“Kamu masih beruntung, masih banyak diluaran sana yang lebih menderita daripada kamu”
“Yok bisa yuk, masa gitu doang gak bisa!”
“Udah, jangan nyerah.”
“Kamu masih beruntung dari yang lain loh.”
“Jangan negatif thinking dulu, ambil aja hikmahnya.”
“Yok semangat, masa gitu aja sedih.”
Sadar atau tidak, kalimat-kalimat seperti itu seringkali diucapkan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Bukannya menguatkan, kalimat seperti itu justru “Terkadang” dapat membuat suasana hati menjadi buruk. Boleh, sih, digunakan untuk menenahkan diri sendiri ataupun menunjukan simpati terhadap orang lain, tetapi jangan sampai terlalu berlebihan hingga membuat emosi negatif terabaikan.
Toxic positivity memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan hubungan sosial loh.
1. Malu
Memaksa untuk tetap berpandangan positif tentang rasa sakit berarti mendorong seseorang agar tetap diam dan tenang dalam pergulatan batin mereka. Alhasil pilihannya antara berani dan jujur atau berpura-pura jika semuanya akan berjalan dengan baik. Tentunya, hal tersebut dapat menimbulkan perasaan yang tidak nyaman.
2. Menekan Emosi
Sebuah penilitian psikologi menjelaskan–bahwa menyembunyikan atau menolak perasaan dapat membuat stres pada tubuh dan menambah susahnya menghindar dari pikiran atau perasaan yang membuat sulit.
Perasaan marah yang disembunyikan akan terkubur jauh di dalam tubuh dan nantinya akan berubah menjadi kecemasan, depresi, atau bahkan penyakit fisik.
3. Terisolasi dan Masalah Sosial Lainnya
Saat kamu sudah menyangkal kebenaran dalam diri, secara tidak langsung kamu sudah memulai hidup dengan cara tidak autentik. Kehilangan koneksi pada diri sendiri dan kamu mungkin terlihat tidak bisa dihancurkan dari luar, namun sebenarnya kamu rapuh.
Seringkali hubungan dengan diri sendiri dicerminkan pada hubungan yang kamu miliki dengan orang lain. Kalau saja kamu tidak jujur dengan perasaan sendiri, bagaimana bisa kamu memberi ruang kepada orang lain untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya?
Jika sudah terjadi begitu, bagaimana caranya berdamai?
1. Hindari Menyangkal Emosi
Kamu harus bisa mengakui perasaanmu dan coba rasakan emosimu baik ataupun buruk. Rasa ketidaknyamanan akan timbul jika kamu menyangkal perasaan tersebut.
2. Dengar dan Validasikan Perasaan Orang Lain
Walaupun berbeda dengan perasaanmu, setiap orang berhak atas perasaannya sendiri. Jangan memperlakukan orang lain karena emosinya.
3. It’s Okay Not To Be Okay!
Saat kamu mulai lelah, istirahatkan fisik dan psikismu. Tidak apa-apa jika ingin menangis, dan tertawalah jika ingin tertawa.
4. Kenali Pesan-Pesan Beracun/Toxic Message
Perlu diingat bahwa yang memberikan kalimat positif beracun adalah mereka yang mengabaikan emosi lainnya. Daripada mengabaikan emosimu, lebih baik menerimanya dan juga berdamai dengan emosi yang sedang kamu rasakan.
Berikut ini merupakan tanda apakah seseorang sedang berempati atau hanya toxic positivity:
-menolak kejujuran;
-membuat seseorang menjaga jarak;
-menolak adanya emosi negatif;
-butuh biaya;
-hanya mengenai diri sendiri;
-bersifat menghakimi; dan
-tidak realistis.
__________
Referensi:
- [1] Lararenjana, Edelweis. 2020. “Mengenal toxic positivity, pikiran positif yang tidak baik untuk kesehatan.” Diakses dari https;//m,merdeka,com/jatim/mengenal-toxic-positivity-pikiran-positif-yang-tidak-baik-untuk-kesehatan-kln,html pada 03 Agustus 2021.
- [2] D, Annisa Abdillah Z. 2021. “Pengertian toxic positivity: seberapa bahayakah?” Diakses dari https;//riliv,co/rilivstory/toxic-positivity-pengertian/ pada 03 Agustus 2021.
- [3] Widiastuti, Wiwit. N N. “Jangan terjebak! Ini 7 tanda toxic positivity menurut ahli.” Diakses dari https;//www,idntimes,com/health/fitness/wiwit-widiastuti/jangan-terjebak-ini-7-tanda-toxic-positivity-menurut-ahli-c1c2 pada 03 Agustus 2021.
- [4] “Mengenal Lebih Jauh tentang Toxic Positivity”. Diakses dari https://www.alodokter.com/mengenal-lebih-jauh-tentang-toxic-positivity