Contoh Teks Novel Sejarah : Gempa. Novel Sejarah Original
Cerita Ini Hanya Fiktif Belaka. Jika Ada Kesamaan Nama Tokoh, Tempat Kejadian Ataupun Cerita, Itu Adalah Kebetulan Semata Dan Tidak Ada Unsur Kesengajaan
Gempa
Saat itu Laruna masih berusia 15 tahun. Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Laruna sedang berada di dalam kamarnya, duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar miliknya, berkutat dengan novel yang baru saja dia beli bersama ayahnya tadi sore setelah pulang dari sekolah. Sambil ditemani alunan musik lo-fi, tanpa terasa dia sudah membaca seperempat isi buku tersebut. Dia memang suka sekali membaca novel science-fiction yang dibumbui dengan kisah romansa anak remaja. “Seru juga nih ceritanya,” ucapnya. Beberapa menit penuh ketenangan berlalu, samar-samar dia mulai merasakan getaran. Awalnya dia mengira itu hanya perasaannya saja, tapi semakin lama getaran tersebut makin kuat terasa. Laruna melirik bingkai foto yang tergantung di dinding kamarnya, benar saja, bingkai tersebut ikut bergetar. Panik, dia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan bergegas membuka pintu kamarnya.
“Bunda, gempa!” teriaknya memperingatkan seisi rumah. Ayahnya yang sedang tertidur di sofa langsung terperanjat. “Ayo cepat keluar!” ucap ibunya seraya menggendong kedua adiknya yang masih setengah tidur. Di luar rumah warga sudah berlarian menuju tanah lapang. Beberapa terlihat begitu panik, sedangkan yang lainnya seperti sudah terbiasa dengan gempa. Laruna berjalan dengan terhuyung, getaran gempa yang sangat kuat membuat kepalanya pusing. Dia menggapai lengan ayahnya yang berjalan di depannya. Begitu mereka tiba di tanah lapang, ternyata tempat itu sudah dipenuhi dengan warga. Gempanya sudah berhenti. Laruna terduduk lemas di atas tanah, sementara ayahnya pergi untuk mencari air minum. “Gempanya tadi kuat banget, ya. Kalo begini kemungkinan ada gempa susulan, sih,” ucap seseorang yang bediri tidak jauh dari Laruna.
Benar saja, gempa susulan terjadi. Kali ini tidak kalah kuatnya dengan gempa sebelumnya. Namun warga tidak berlari kemana-mana. Dari tempat dia berada, Laruna bisa melihat beberapa rumah warga yang satu persatu hancur karena gempa. Belum sepenuhnya getaran gempa hilang, terdengar teriakan keras dari arah belakang. “Oi! Coba liat tuh!” Laruna yang mendengar teriakan tersebut langsung tersadar dari lamunannya. Matanya menangkap pemandangan yang jauh lebih seram. Dari kejauhan nampak tanah-tanah mulai bergerak, menyapu bangunan-bangunan yang tersisa. Warga mulai panik saat tanah yang mereka pijak juga mulai terasa bergerak. Laruna mengedarkan pandangannya, berusaha mencari keberadaan orang tuanya. “Ayah! Bunda!” teriaknya berkali-kali. Tanah di sekitarnya mulai merekah. Pemandangan yang membuat merinding itu membuat teriakan Laruna semakin keras. Orang-orang yang panik berlarian mulai menabrak tubuh Laruna hingga gadis itu kembali terduduk di tanah. Merasa tidak bisa menemukan orang tuanya, Laruna memutuskan untuk ikut menyelamatkan diri bersama warga. Sayang sekali, tanah yang dipijaknya ikut bergerak. Dia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri dan jatuh ke dalam bagian tanah yang terbelah. “Tolong! Tolong! Siapapun tolong aku!” teriaknya. Tapi suaranya tenggelam dalam teriakan-teriakan warga yang sudah menjauh. Bajunya basah terkena lumpur yang mulai menggenangi sekitarnya. Dia berusaha mencari sesuatu yang bisa digapai. Jantungnya berdetak dengan cepat, takut kalau tubuhnya ikut terseret lumpur.
Tiba-tiba saja tanah di sekitarnya mulai bergerak kembali, menyeret tubuh mungil Laruna. Gadis itu tetap berusaha mengeluarkan tubuhnya dari dalam tanah, tapi tenaganya tidak cukup, ditambah tidak adanya benda apapun yang bisa dia pegang.”Argh!” jeritnya ketika lumpur yang bergerak membuat tubuhnya menabrak cabang pohon yang tumbang. Dengan cepat dia menggapai cabang pohon yang tumbang tersebut. Setelah berhasil, dengan sekuat tenaga dia berusaha menarik tubuhnya dari dalam tanah. Dan akhirnya dia berhasil keluar. Laruna lalu berdiri dan berlari sekencang mungkin. Beberapa kali dia tergelincir dan jatuh karena lumpur. Dia terus berlari, menjauhi area yang mulai terseret lumpur menuju area dengan tanah yang lebih padat.
Malam semakin gelap, udara juga terasa seperti menusuk tulang, ditambah pakaiannya yang basah dan kotor karena lumpur. Laruna yang sudah berlari sejauh 200 meter mulai memperlambat langkahnya. Dia menyusuri jalan besar yang hancur total, tanah yang terbelah dimana-mana. Bangunan-bangunan di pinggir jalan juga roboh. Beberapa tiang listrik yang saling tindih satu sama lain. Terdapat beberapa kendaraan yang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Dalam kesunyian itu, dia baru menyadari ada beberapa luka gores di kaki dan tangannya. “Aw..,” rintihnya pelan. Beberapa kali dia jatuh terjerembab ke aspal karena jalanan yang hancur. Laruna terus berjalan dengan diam, memikirkan nasib orang tuanya. Tujuannya saat ini hanya satu, terus berjalan menuju stadion terdekat, karena dia yakin pasti orang-orang berkumpul di sana. Setelah berjalan kurang lebih satu jam, dia sampai di stadion. Petugas yang berjaga langsung mengarahkannya untuk masuk. Benar saja, tempat itu sudah disulap menjadi tempat pengungsian sementara. Banyak tenda-tenda yang dibangun. Lapangan yang luas itu dipenuhi berbagai suara, tapi yang paling terdengar adalah suara tangisan. Seorang petugas menghampirinya, lalu memberikan pakaian ganti. “Terima kasih,” ucap Laruna pelan, yang hanya dibalas senyuman hangat oleh petugas wanita itu.
Setelah selesai membersihkan diri, Laruna mengambil makan malam. Beruntung ternyata masih ada makanan yang tersisa sehingga malam ini dia bisa makan untuk mengisi energinya yang sudah terkuras habis. Saat tengah mengambil air minum kemasan, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Laruna yang kaget langsung berbalik badan. “Lah bener si Runa!” Tubuhnya langsung dipeluk erat oleh lawan bicaranya yang tidak lain merupakan Nasya, tetangga sekaligus teman main Laruna. “Ya Tuhan, ayah kamu panik nyariin sampe berencana mau balik ke tempat kejadian, tapi dilarang sama petugas yang jaga. Itu semuanya pada ngumpul di sana.” Tanpa banyak piker Laruna langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh Nasya, dan benar saja, ada kedua orang tuanya di sana. “Ayah! Bunda!” teriaknya. Kedua orang tuanya langsung memeluknya dengan erat, menangis. Malam itu tidak akan pernah dilupakan oleh Laruna, dia hampir meregang nyawa, tapi beruntungnya dia masih diberi kesempatan untung tetap hidup dan bertemu orang tuanya. Setelah ini semuanya akan sulit, mereka harus kehilangan benda-benda berharga. Tapi Laruna lega, karna menurutnya, selama dia bisa terus bersama dengan orang tuanya, dia pasti akan terus baik-baik saja.
Pengarang | Amiza Qorina |
@ami.zaa |
YUK, Bagikan juga cerita hasil karanganmu di CariPengetahuan-Id. Caranya, kirim file karangan kamu dalam bentuk word atau Pdf ke email [email protected]. Dan jangan lupa cantumkan juga URL instagran atau sosial media lainya. Terimakasih…
Salam Pengetahuan 😆